Kamis, 18 November 2010

Pemimpin, Komunikasi dan Harapan

Kepemimpinan secara sederhana didefinisikan sebagai seseorang mempengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Sementara komunikasi adalah instrumen yang sangat penting  dalam kepemimpinan. Suatu kepemimpinan bisa sukses atau gagal karena komunikasi. Ada tiga hal yang penting dalam berkomunikasi, yakni konsistensi, kejelasan, dan kesopanan.
  • Konsistensi. Tim akan frustasi jika kata-kata pemimpinnya tidak bisa dipegang. Demikian pula bila tidak ada kesesuaian antara perbuatan dan tindakan.
  • Kejelasan. Tim tidak bisa melaksanakan rencana bila tidak mengerti apa yang diinginkan oleh pemimpinnya. Tidak ada gunanya mencoba membuat tim kagum akan intelektualitas kita dengan mengunakan istilah-istilah yang rumit.
  • Kesopanan. Setiap orang ingin diperlakukan dengan sopan dan hormat, siapapun mereka.
Komunikasi Ala Obama
Hadir di kuliah umum Obama minggu lalu, saya semakin disadarkan betapa kepiawaian  berkomunikasi memainkan peranan yang sangat penting dalam kepemimpinan. Berbicara di depan sekitar 7.500 hadirin, Obama menyampaikan pesannya dengan sangat menggugah.

Obama—yang memilih topik tentang pembangunan, demokrasi, dan kerukunan beragama—membuka pidatonya dengan nostalgia masa kecilnya di Indonesia. Ia bercerita bahwa tinggal di negeri yang sangat beragam seperti Indonesia, dengan ribuan pulau, ratusan bahasa dan etnis, serta sejumlah agama, membantunya menjadi lebih humanis. Dua kali ia menekankan, asas Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, menjadi contoh bagi dunia dan membuat Indonesia akan memainkan peranan penting pada abad ke-21.

Tentang demokrasi, Obama menyampaikan kekaguman dunia melihat Indonesia yang berhasil melakukan peralihan kepemimpinan dengan damai, dan menerapkan sistem demokrasi di mana rakyat memilih langsung para pemimpinnya. Obama pun menyampaikan, “Ketika kita banyak mendengar bahwa demokrasi menghalangi kemajuan ekonomi, apa yang dicapai oleh India dan Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan ekonomi saling memperkuat.

“Seperti negara demokrasi lainnya, ada masalah-masalah yang timbul sepanjang jalan. Amerika pun demikian. Indonesia mengalami pasang surut dalam menjalankan demokrasi. Perjalanan itu sangat berharga. Dibutuhkan insitusi yang kuat untuk mengawasi konsentrasi kekuatan, dibutuhkan pasar yang terbuka yang memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk sukses, dibutuhkan kebebasan pers dan sistem hukum yang independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan untuk mendorong akuntabilitas. Dibutuhkan masyarakat yang terbuka dan warga yang aktif untuk menolak ketimpangan dan ketidakadilan. Kekuatan-kekuatan ini yang akan membuat Indonesia sukses di masa depan.”

Tentang agama, Obama menyampaikan bahwa Indonesia adalah tempat di mana masyarakat mengagungkan Tuhan dengan cara yang beragam. Ia lalu bercerita tentang kunjungannya ke Masjid Istiqlal, tempat beribadah ribuan kaum muslim yang dirancang oleh arsitek beragama kristen yang menggambarkan spirit Indonesia yang inklusif, yakni Pancasila.

Islam tumbuh berkembang di Indonesia, demikian juga agama-agama lainnya. Obama lalu bercerita tentang ketegangan antara Amerika dan komunitas Islam serta upaya-upayanya untuk memperbaiki hubungan ini, yang dikatakannya tidak mudah dan penuh tantangan. Namun, Amerika akan terus berusaha untuk mewujudkan perdamaian dan toleransi antaragama.

Inspirasi Obama


Hanya 30 menit Obama berbicara, tetapi begitu dalam maknanya. Yang istimewa dari Obama adalah kemampuannya menggugah semangat. Dia menggambarkan tantangan-tantangan yang ada, mengakui secara jujur dan terbuka situasinya, termasuk apa yang salah sebelumnya. Namun dia juga mengingatkan, termasuk memberikan alasan yang kuat kenapa kita pantas optimis terhadap masa depan. Misalnya, saat membahas tantangan-tantangan yang dihadapi Amerika dalam memperbaiki dan membangun kembali hubungannya dengan masyarakat Islam yang sempat rusak, Obama mengakui kesalahan pendekatan pada masa lalu. Ia pun menunjukkan apa yang sudah dia lakukan dan apa yang akan terus dilakukannya.

Obama membuat rakyat Indonesia merasa bangga bahwa negara kita dibangun dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila yang sangat modern dan berpandangan jauh ke depan. Kita pun dibuat besar hati bahwa, meskipun kita melihat masih banyak masalah dalam penerapan demokrasi di Indonesia, tetapi sebenarnya banyak kemajuan yang telah dicapai yang membuat Indonesia berdiri lebih kokoh menyongsong masa depan.

Meskipun demikian, kita sadar betapa keberagaman dan toleransi yang dipuji oleh Obama akhir-akhir ini terancam. Muncul kelompok-kelompok agama yang semakin militan. Penghancuran rumah ibadah, penganiayaan penganut aliran keagamaan, dan perusakan tempat hiburan begitu sering terjadi. Di Yogyakarta, hanya sehari sebelum Obama datang, sekelompok orang tega mengusir pengungsi Merapi dari tempat penampungan di sebuah gereja. Alasannya sungguh aneh: gereja bisa digunakan untuk mengkristenkan para pengungsi.

Alangkah indahnya bila Presiden kita pun mengakui secara jujur dan terbuka tentang masalah-masalah yang kita hadapi saat ini, serta menyampaikan niatnya yang kuat untuk mengatasi radikalisme, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dalam upaya mengatasi radikalisme tersebut, dan mengambil langkah-langkah nyata dan konsisten betapapun sulitnya. Karena hanya dengan mengakui masalah yang ada dan mengambil langkah-langkah yang konsisten, kita bisa mengatasi masalah radikalisme itu dan menguatkan prinsip Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, dan demokrasi yang menjadi pondasi kokohnya negara kita.

Semoga inspirasi Obama membuat kita semakin sadar betapa berharganya Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, dan demokrasi; serta membuat kita bersatu untuk melindungi ketiganya dari usaha-usaha sekelompok orang yang ingin menodainya.

Kita semua bisa belajar dari Obama mengenai komunikasi yang jernih, jujur, dan menggugah semangat persatuan di dalam memecahkan masalah-masalah yang ada dan menanamkan optimisme akan masa depan yang cerah.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana

Kamis, 11 November 2010

Memimpin untuk Dilayani, Atau Melayani untuk Memimpin ?

Banyak orang mengasosiasikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba untuk mencapai puncak kepemimpinan agar bisa mendapatkan kekuasaan. Lalu, kekuasaan dan wewenang itulah yang dijadikan alat untuk memimpin, untuk mencapai tujuan-tujuan kepemimpinannya.

Pemimpin-pemimpin terbaik justru bekerja dengan melayani. Sebagai pemimpin, mereka melihat perannya adalah melayani timnya, agar potensi-potensi terbaik dari timnya ini dapat dimunculkan. Mereka meng-coach, membimbing, mementori, dan memberikan dorongan. Itulah sejatinya yang dilakukan seorang pemimpin: melayani.

Bulan lalu, sebagai ketua Dewan Juri Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA), saya mendapat kehormatan untuk menghayati apa arti kepemimpinan yang sejati. Dua pemenang BHACA 2010 adalah Walikota Solo, Joko Widodo, dan Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto. Keduanya sungguh merupakan contoh ideal pemimpin yang sukses karena melayani rakyat yang dipimpinnya.

Mendengarkan Sambil Mentraktir Makan Ala Jokowi

Sementara di banyak tempat kekerasan menjadi alat yang diandalkan untuk memaksakan relokasi PKL (pedagang kaki lima), di Solo Jokowi menggunakan cara yang jauh berbeda. Para pedagang ini dia ajak berdialog sambil makan. Ketika kenyang, seseorang akan lebih mudah diajak berbicara, dalihnya.

Para PKL ini diyakinkan bahwa relokasi adalah jalan yang jauh lebih baik. Kepada mereka diberikan kios di tempat yang baru, SIUP, dan TDP gratis agar mereka dapat menjadi pedagang formal yang bisa memimjam uang dari Bank. Tidak jarang dialog sambil makan itu harus dilakukan berkali-kali oleh Jokowi, sebelum mereka akhirnya berhasil diyakinkan. Jokowi mendengarkan keluh kesah mereka dan mencarikan jalan keluar bagi mereka. Alhasil, ribuan PKL itu dengan suka rela bersedia direlokasi.

Sebagai akibatnya, Solo pun menjadi kota yang tertata apik, dengan jalur hijau dan jalur pejalan kaki yang nyaman. Bukan hanya itu, Pendapatan Asli Daerah Solo yang didapatkan dari pasar juga mencapai Rp19,2 miliar, lebih tinggi ketimbang pendapatan yang berasal dari hotel sebesar Rp7 miliar, parkir Rp1,8 miliar, atau papan reklame Rp4 miliar.

Selama 40 tahun periode sebelum Jokowi memimpin, tak satu pasar pun dibangun di Solo. Dalam 5 tahun kepemimpinannya, ada 15 pasar dibangunnya. Daerah-daerah lain mengeluhkan anggaran yang tidak mencukupi. Namun, Jokowi punya pendekatan yang berbeda dalam menyiasati anggaran ini.

Sebelumnya, anggaran yang terbatas disebarkan merata sehingga masing-masing daerah mendapatkan porsi anggaran yang kecil, sehingga hasilnya menjadi serba tanggung. Jokowi lalu memilih fokus kepada satu bidang saja setiap tahun, namun konsepnya dibuat secara matang, dilaksanakan dengan perencanaan yang baik, serta diawasi dengan betul sehingga hasilnya menjadi signifikan, bagus, dan tidak ada kebocoran.

Tahun berikutnya, ia memfokuskan anggaran untuk bidang yang lainnya. Semua dilaksanakan dengan kualitas yang baik, sehingga penggunaan anggarannya menjadi sangat efisien. Banyak yang berhasil dicapai oleh Jokowi. Selain 15 pasar yang berhasil dibangunnya, pembangunan taman kota, trotoar bagi pejalan kaki, perbaikan administrasi pelayanan, pengembangan green belt di tepi sungai  Bengawan Solo sepanjang 7 kilometer pun telah membuat Solo menjadi kota yang nyaman dihuni.

Melayani Ala Herry Zudianto

Herry yang berlatar belakang entrepreneur sudah biasa melayani pelanggan. Saat menjadi walikota, paradigmanya pun tetap sama: melayani. Kepada jajaran Pemkot Yogya, dia menanamkan sikap “saiyeg sak eko kapti” (bersatu dalam cita), “saiyeg sak eko proyo” (bersatu dalam karya) dalam melakukan reformasi birokrasi dan mewujudkan pemerintah sebagai pelayan masyarakat.

Dalam kepemimpinannya, Herry berhasil mengembangkan berbagai inovasi layanan publik, khususnya di sektor investasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lingkungan hidup. Dinas perijinan satu pintu dibangunnya untuk memangkas proses perijinan yang berbelit-belit.

Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan masyarakat diwujudkannya dalam pembuatan APBD yang transparan dan partisipatif. Saluran untuk menyampaikan masukan pun dibuat melalui mekanisme komplain elektronik yang dikenal sebagai UPIK (Unit Pelayanan Informasi keluhan).

Pendekatan yang memberdayakan, yang dilakukan oleh Herry, telah membuat masyarakat Yogya sangat terlibat dalam memecahkan berbagai masalah publik—sesuatu yang sangat disyukuri oleh Herry. Terbukti, indeks persepsi korupsi dan indeks good governance Kota Yogyakarta sangat bagus, yakni peringkat pertama untuk indeks persepsi korupsi pada tahun 2008.

Banyak pemimpin pemerintah maupun swasta mencapai tujuannya dengan menggunakan kekuasaan dan wewenang yang dia miliki. Namun, pemimpin yang paling efektif adalah ketika mereka dapat mempengarui orang lain dengan cara yang menyentuh hati dan merebut respek, karena mereka mau mendengar, menghayati, dan mencari jalan keluar bagi masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Kalau Jokowi dan Herry bisa, tentu kita pun bisa menjadi pemimpin yang melayani.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana

Selasa, 09 November 2010

Entrepreneurial Leadership, Andalan Sukses di Era Perubahan

Ketika perubahan terjadi semakin cepat dan persaingan semakin dahsyat seperti saat ini, kepemimpinan yang bersifat entrepreneurial, tidak sekadar managerial, sangat dibutuhkan.
Kepemimpinan entrepreneurial mempunyai ciri-ciri:
  • Tidak menunggu atau menyerahkan nasib kepada orang lain, melainkan mengambil inisiatif dan menganggap dirinya memiliki peran kunci dalam organisasi. Dia membangkitkan energi timnya.
  • Menunjukkan kreativitas yang entrepreneurial, selalu mencari peluang-peluang baru dan merealisasikannya.
  • Berani mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, memberikan arahan strategis, dan menginspirasi timnya.
  • Bertanggung jawab atas kegagalan dari timnya, belajar dari kegagalan tersebut, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi yang menguntungkan semua pemangku kepentingan.
Di era perubahan yang cepat, para manajer dituntut untuk lebih entrepreneurial. Kepemimpinan adalah kekuatan utama yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan yang berhasil. Pemimpin harus memberdayakan pegawainya untuk merealisasikan visi. Mereka menjalankan misinya dengan menginspirasi dan membangun kemampuan melalui berbagai sinergi dengan mitra usaha.
Kita sering kali melihat perusahaan yang dibangun dengan semangat entrepreneurial, ketika menjadi besar malah menjadi birokratis dan lamban, sehingga pada titik tertentu kehilangan daya saingnya dan terpuruk.

Karenanya, menjadi menarik untuk mempelajari bagaimana Chairul Tanjung berhasil membangun kerajaan bisnisnya selama 30 tahun dari bisnis informal sampai menjadi bisnis besar dan melaju menjadi grup bisnis yang beragam; keuangan, media, retail, life style, hiburan, serta bisnis berbasis sumber daya alam. Kerajaan bisnisnya kini telah memperkerjakan lebih dari 60.000 pegawai.

Perjalanan Bisnis CT
Kiprah Chairul Tanjung (CT) sebagai pengusaha dimulai pada tahun 1981, ketika dia masih menjadi mahasiswa kedokteran gigi di Universitas Indonesia. Lahir dari keluarga yang tidak berada memaksa CT untuk membiayai kuliahnya dengan berdagang di kampus—mulai dari menyediakan jasa foto copy, mensuplai perlengkapan kedokteran gigi, sampai melakoni usaha jual beli mobil bekas.

Tahun 1987—1996, CT memasuki bidang manufacturing sandal/sepatu dan atap baja. Pada periode ini pula, dia mulai mendirikan Para Multi Finance. Dengan pegawai mencapai 500 orang, kini CT mulai merekrut pemimpin-pemimpin berpengalaman untuk duduk di manajemen puncak. Bila sebelumnya CT mengerjakan langsung berbagai pekerjaan, kini perannya lebih kepada memberikan arahan bagi para manajemen puncak tersebut.

Sejak 1996, perusahaannya tumbuh menjadi perusahaan besar. Merasa sulit bersaing dengan China di bidang manufacturing, CT mengalihkan fokusnya pada jasa keuangan, yakni melalui Bank Mega dan Para Multifinance. Ketika banyak perusahaan mengalami kesulitan di masa krisis keuangan tahun 1998, Bank Mega dan Para Multifinance yang telah menerapkan tata kelola yang baik pada waktu itu, justru melebarkan sayapnya. Dengan pegawai mendekati 5000 orang pada akhir tahun 2000, peran CT menjadi lebih banyak dalam hal coaching, delegating, dan membangun tata kelola perusahaan. Proses membangun kepemimpinan dari dalam pun dia lakukan.

Pada tahun 2000 sampai sekarang adalah periode di mana CT Group telah tumbuh menjadi konglomerasi bisnis dengan fokus konsumer. TransTV, Trans|7, Metro Department Store, Carrefour, dan CT Agro adalah bisnis-bisnis besar yang berhasil dia bangun dan akuisisi dalam periode ini. Dengan jumlah pegawai lebih dari 60.000 orang, kini peran CT lebih pada membangun visi, nilai-nilai, dan tata kelola perusahaan. Ia tidak lagi terlibat dalam hal operasional perusahaan.

Pelajaran yang Bisa Dipetik
Ketika banyak perusahaan besar dan pemimpinnya menjadi birokratis dan lamban, CT Group tidak demikian. CT berhasil melakukan transformasi gaya dan pendekatan kemimpinan—mulai dari mengerjakan sendiri, lalu memberikan pengarahan, kemudian melakukan coaching, delegating, dan membangun tata kelola perusahaan. Setelah mencapai posisi puncak, kini fokusnya ada pada visi, nilai-nilai, dan governance. CT juga berhasil merekrut dan menarik pemimpin-pemimpin terbaik di berbagai bidang untuk bergabung dengan perusahaannya. Mereka juga mengembangkan kepemimpinan dari dalam. 

Kepemimpinan entrepreneurial sangat menonjol dan terlihat dari peralihan fokus bisnis CT yang sejalan dengan peluang-peluang yang dilihatnya. Dimulai dari sekadar berdagang, lalu merambah bidang manufacturing, layanan keuangan, hingga kini fokus di bidang konsumer. CT sunguh jeli melihat peluang dan piawai dalam merealisasikan peluang tersebut. Perjalanan bisnisnya menggambarkan kegigihan dan keuletannya sebagai pengusaha.
Hal-hal menarik yang terungkap dari diskusi dengan CT di antaranya adalah sikapnya yang sangat positif dalam menghadapi kegagalan. Baginya, kegagalan adalah teman yang menemaninya dan menghantarnya pada keberhasilan. 

CT juga selalu menekankan pentingnya inovasi. Ia selalu ingin membuat bisnis yang belum terpikirkan oleh orang lain, sehingga tidak menjadi korban perang harga. Dia pun sangat optimis dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia 10 tahun ke depan. Baginya, peluang bisnis di Indonesia sangat besar dan tumbuh cepat. Karena itu pula, untuk sementara ini CT memilih untuk fokus pada pasar dalam negeri selagi booming. 

CT juga menekankan pentingnya berbisnis dengan integritas dan pemikiran jangka panjang. Dengan demikian, kredibilitas akan terbangun dan mitra bisnis pun percaya kepadanya. Bisnisnya tidak ada yang berhubungan dengan pemerintah. Dia memang tak ingin menggantungkan bisnisnya kepada pemerintah.

Kepemimpinan entrepreneurial adalah proses, bukan posisi. Pemimpin yang entrepreneurial mengambil tanggung jawab untuk membantu organisasi menciptakan kondisi di mana perusahaan tidak dikontrol, melainkan menentukan sikapnya sendiri dan merespons situasi secara kreatif. Kepemimpinan seperti ini membuat organisasi menjadi lebih produktif dan mampu memunculkan potensi-potensi kreatif organisasi.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana

Artikel ini adalah rangkuman dari Seminar Leadership Series 2010 yang diselenggarakan oleh QB Leadership Center dan Majalah Warta Ekonomi pada 20 Oktober 2010. Materi seminar dapat diunduh di http://leadershipqb.com/index.php?option=com_eventlist&view=eventlist&Itemid=29

Tim yang Tangguh Pondasi Kepemimpinan yang Berhasil

Mengikuti berita di berbagai media—baik cetak, online, maupun social media—belakangan ini, memang porsi berita buruk sangat dominan. Banyaknya berita-berita buruk ini kemudian membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan keprihatinannya, di sela pencanangan gerakan Indonesia Bebas Pemadaman Bergilir di Mataram, pada 27 Juli 2010. Beliau mengungkapkan bahwa ada gerakan politik yang berkampanye keliling Indonesia dan menjelek-jelekkan pemerintahan. Beliau mengharapkan pemberitaan hendaknya lebih seimbang dan jujur.

Di dalam berbagai kesempatan, saya sempat ngobrol dengan orang-orang yang dekat dengan SBY. Mereka menyampaikan betapa SBY bekerja sangat keras untuk menjalankan pemerintahan yang baik. Beliau pun berkomitmen sangat tinggi pada reformasi birokrasi. Bila presiden sudah bekerja sangat keras, lalu kenapa masyarakat luas belum merasakan kemajuan yang berarti?

Menganalisa situasi ini, saya jadi teringat buku Good to Great yang ditulis oleh Jim Collins. Buku yang ditulis berdasarkan hasil penelitian mengenai apa yang membuat organisasi-organisasi hebat berkinerja prima untuk jangka waktu yang panjang itu, antara lain berkesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan yang hebat memulai kepemimpinannya dengan menempatkan orang-orang yang tepat di organisasinya dan melepaskan orang-orang yang tidak tepat. Mereka sangat teliti dalam memilih orang. Prinsip mereka yang pertama adalah, "Siapa". Mereka pada tahap pertama memfokuskan perhatian dan waktunya guna mendapatkan orang-orang terbaik untuk membangun tim eksekutif yang tangguh. Setelah mendapatkan orang-orang yang  tangguh dan terbaik, barulah mereka merumuskan langkah-langkah menuju pencapaian yang luar biasa.

Tim yang tangguh tidak perlu diawasi. Mereka akan menggunakan segenap kemampuannya untuk membangun organisasi yang sukses. Ketika kita merasakan bahwa kita perlu mengawasi seseorang dengan ketat, itu adalah pertanda bahwa kita telah menempatkan orang yang salah.

Dalam banyak situasi, kenyataan ini ditanggapi dengan menunda tindakan tegas untuk mengganti orang-orang yang tidak tepat. Kita mencoba berbagai alternatif untuk memperbaiki kinerja, memberikan kesempatan ketiga dan keempat dengan harapan situasi akan membaik. Kita menginvestasikan banyak waktu untuk mengelola orang itu dengan baik, membuat sistem untuk mengkompensasi kekurangannya dengan harapan kinerjanya akan membaik. Begitu banyak energi dikeluarkan untuk mengelola orang yang tidak tepat itu, sehingga mengambil alih perhatian yang seharusnya diberikan untuk mengembangkan dan bekerja sama dengan orang-orang yang baik. Sebagai akibatnya, kita merasakan bahwa sementara kita bekerja keras luar biasa, hasil yang kita capai tidak merepresentasikan kerja keras tersebut.

Apa yang terjadi dengan pemerintahan SBY jilid dua ini mengingatkan saya pada apa yang saya baca di buku Good to Great. Ketika Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan, begitu banyak orang ternganga dengan beberapa orang pilihan Pak SBY kali ini. Dibentuknya Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang dipimpin oleh orang sekaliber Kuntoro Mangkusubroto, yang bertugas memonitor kinerja para menteri ini seakan menunjukkan kenyataan bahwa SBY menyadari bahwa pilihan kabinetnya "terpaksa" dikompromikan dengan kepentingan-kepentingan politik, sehingga perlu dibentuk suatu lembaga (UKP4) untuk mengkompensasi kekurangan-kekurangan yang ada.

Seperti yang juga terjadi pada contoh-contoh yang diulas dalam buku Good to Great, menempatkan orang yang tidak tepat membawa konsekuensi yang signifikan. Kita melihat struktur pemerintahan yang gemuk karena selain adanya UKP4 yang bertugas mengawasi para menteri ini, kini ada pula wakil menteri dan banyak staff ahli yang mengelilingi para menteri. Harapannya, kehadiran mereka akan mengkompensasi kekurangan-kekurangan para menteri ini.

Akankah strategi itu berhasil? Berbagai berita negatif yang dimuat di berbagai media cetak, online, dan social media adalah salah satu indikator yang patut disimak. Mereka tidak bisa dibungkam dengan ungkapan keprihatinan Presiden, melainkan dengan tindakan tegas untuk membangun tim eksekutif yang tangguh, yang sanggup membangun pemerintahan yang kredibel dan membawa kemajuan yang signifikan.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengkritik pemerintah kita, melainkan untuk mengingatkan kita semua, para pemimpin organisasi, bahwa memilih dan menempatkan tim yang tangguh adalah pondasi bagi kepemimpinan yang berhasil. Bila kita ingin organisasi kita sukses, tumbuh, dan berkembang, bukan hanya kini tetapi juga secara berkesinambungan, mulailah dengan memilih dan membentuk tim yang tangguh.

Selamat memimpin.

Salam hangat penuh semangat
Betti Alisjahbana